Minggu, 09 Oktober 2011

KOHESIVITAS DALAM OLAHRAGA

1. Kohesivitas.
Kohesivitas merupakan kekuatan interaksi dari anggota suatu kelompok. Kohesivitas ditunjukkan dalam bentuk keramahtamahan antar anggota kelompok, mereka biasanya senang untuk bersama-sama. Masing-masing anggota merasa bebas untuk mengemukakan pendapat dan sarannya. Anggota kelompok biasanya juga antusias terhadap apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompoknya. Merasa rela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kewajibannya. Semua itu menunjukan adanya kesatuan, kereratan, dan saling menarik dari anggota kelompok.
2. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kohesivitas/kepaduan.
  1.  Kesamaan nilai dan tujuan.Kohesivitas akan terjadi bila anggota kelompok memiliki sikap, nilai dan tujuan yang sama.
  1. Keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang penting dapat meningkatkan kesatuan kelompok, kepuasan antar anggota kelompok dan membuat kelompok menjadi lebih menarik bagi anggotanya.
  1.  Status kelompok.
Kelompok yang memiliki status atau kedudukan yang lebih tinggi lebih menarik bagi para anggotanya.
  1.  Penyelesaian perbedaan.
Jika terjadi perbedaan tentang suatu masalah penting yang terjadi dalam kelompok, maka diperlukan penyelesaian yang dapat memuaskan semua anggota.
  1.  Kecocokan terhadap norma-norma.
Norma membantu dan mempermudah dalam meramalkan dan mengendalikan perilaku yang terjadi dalam kelompok.
  1.  Daya tarik pribadi.
Kohesivitas atau kepaduan akan meningkat jika terdapat adanya daya tarik dari para anggota yaitu adanya kepercayaan timbal balik dan saling memberikan dukungan. Daya tarik ini berfungsi untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan.
  1. Persaingan antar kelompok.
Persaingan antar kelompok yang terjadi dapat menyebabkan anggota kelompok lebih erat dan bersatu dalam melakukan aktivitasnya.
  1. Pengakuan dan penghargaan.
Jika suatu kelompok berprestasi dengan baik kemudian mendapat pengakuan dan penghargaan dari pimpinan, maka dapat meningkatkan kebanggaan dan kesetian dari anggota kelompok.
  1.  Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kelompok.
Ketika anggota kelompok tidak menarik antara satu sama lainnya atau kurang kepercayaan di antara mereka atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menurunkan adanya tingkat kepaduan.
  1.  Persaingan intern antar anggota kelompok.
Persaingan intern anggota kelompok menyebabkan adanya konflik, permusuhan dan mendorong adanya perpecahan di antara anggota kelompok.
  1.  Dominasi.
Jika satu atau lebih anggota kelompok mendominasi kelompok atau karena sifat kepribadian tertentu yang cenderung tidak senang berinteraksi dengan anggota kelompok maka kepaduan atau kohesivitas tidak akan berkembang. Prilaku seperti itu akan menimbulkan terjadinya klik-klikdalam kelompok yang dapat menurunkan tingkat kepaduan.

3. Kohesivitas dalam OLahraga

 Oleh: Sugeng Sp Wartawan Media Indonesia
WASIT dikejar-kejar pemain, suporter ngamuk, para pihak (pemain dan pelatih) saling adu pukul alias berantem masih saja muncul dengan intensitas cukup tinggi dalam dunia olahraga kita. Tak terkecuali di arena PON XIV di Jakarta kali ini. Entah karena apa, jargon-jargon seperti; sportifitas, fair play, semangat persaudaraan, dan sebagainya, olahraga untuk perdamaian, dan sebagainya, begitu mudah tenggelam dalam hiruk-pikuk subyektifisme kolektif yang bersifat spontan yang tak jarang memunculkan kekerasan.
            Padahal--sebagaimana sering disinyalir oleh para ahli--bahwa ikatan-ikatan yang terbangun dari proses yang spontan dari interaksi kerumunan (crowd) sebenarnya bersifat rentan. Pelaku-pelaku biasanya akan menunjukkan rasa penyesalannya begitu kerumunan itu bubar dan si pelaku menjadi dirinya sendiri.
Pertanyaan kita adalah musabab apakah yang dapat menghipnotis seseorang (bisa penonton, pemain, pelatih, bahkan negara) sehingga berperilaku demikian. Dari berbagai kasus yang terjadi, menjadi benar  adanya bahwa 'antara olahraga dan kekerasan hanyalah berjarak selapis kulit bawang.Sederet alasan bisa diberikan; dari sesuatu yang berdimensi teknis sampai pada hal-hal yang bertendensi moral; "membela kehormatan," misalnya
            Bila kita lacak ke belakang, memang dapat kita catat bahwa olahraga tidak lagi 'bebas nilai'. Superioritas seorang atlet atau kelompok  pemain (regu/kesebelasan/pasangan) tidak lagi sebatas pada wilayah arena, tapi ia telah melebar dan beresonansi terhadap titik-titik simpul yang dapat berupa; sedaerah, sebangsa, sekawasan. Seorang atlet adalah personifikasi komunitas. Ada semacam pendelegasian untuk merealisir cita-cita, harapan dan obsesi komunitas. Ia adalah seorang panglima di ujung harapan. Dari itu subyektifitas komune-pun ikut larut manakala sang atlet berlaga di arena. Bila sang atlet menang, maka 'perasaan menang' juga menyiram dada simpatisan, demikian juga untuk keadaan sebaliknya.
Sang atlet dapat disanjung bagai panglima yang menang perang. Sebaliknya, dapat dikutuk bahkan dibunuh ketika ia membunuh harapan komunitasnya karena kalah bertanding. Bagaimana rakyat Brasil berpesta pora sepanjang hari dan mengelu-elukan para atletnya ketika kesebelasannya menjuarai Piala Dunia 1994, dan mereka sejenak lupa bahwa negerinya sebenarnya tengah mengalami debt trap dalam bangun ekonominya.
`Sebaliknya masih segar dalam ingatan kita bagaimana Andreas Escobar pemain sepakbola Kolumbia yang dibunuh di negaranya. Escobar dianggap  sebagai penyebab kekalahan kesebelasan negaranya dengan melakukan gol 'bunuh diri' ketika melawan Amerika Serikat dalam kejuaraan yang sama. Masih menjadi pertanyaan besar yang belum terpecahkan memang; mengapa olahraga begitu dekat dengan kekerasan. Hura-hura merayakan kemenangan tak jarang berujung kekerasan, terlebih-lebih luapan kekecewaan kekalahan. Padahal dengan olahraga diharapkan menjadi satu medium untuk membangun kebahagiaan dan perdamaian, sebagaimana yang dicanangkan oleh Bapak Olimpiade, Baron Pierre de Coumbertin.
Dari keadaan ini biasanya analisa lantas tertuju pada kondisi sosial 
masyarakat bersangkutan. Meskipun kadang kecele; bagaimana tragedi Stadion Heysel yang menelan banyak korban, adalah bukti bahwa kekerasan olahraga dapat juga terjadi pada masyarakat yang maju, baik  dalam peradaban maupun kondisi sosial ekonominya.Dan kini kekerasan dan kebrutalan masih pula menggores arena PON kita meskipun dengan intensitas dan ekskalasi konflik yang terbatas. Layak  kita renungkan adalah apa yang menjadi semacam raison de'etre dari itu semua. Arena PON itu sendiri dapat pula kita jadikan salah satu alat penala tingkat kohesifitas nasional kita. 
Rivalitas antardaerah dalam satu bingkai kesatuan dan persatuan 
tersalurkan lewat 'adu prestasi' para atlet. Ada semacam exercise empat tahunan. Kedawasaan sungguh diuji bagaimana menerima kenyataan menang atau sebaliknya keadaan kalah.Menang dan kalah bukanlah segala-galanya. Menang dan kalah adalah sebuah konsekuensi logis dari keputusan kita untuk 'terlibat'. Menang dan kalah akan menjadi lebih bermakna bila ia justru menciptakan suasana damai, bersahabat, jauh dari kekerasan dan ketakjujuran.
Dalam keadaan demikian lantas kita dapat dengan jernih berpikir bagaimana meningkatkan prestasi dan merealisasi harapan-harapan yang lebih besar, yakni harapan nasional, harapan bangsa dalam arena dunia. Sebab kalau tidak, tak tertutup kemungkinan muncul pesimisme-pesimisme baru bahwa arena olahraga tak lebih dari sekadar ajang penumpahan  nafsu manusia yang terbalut sejumlah kepentingan tak berujung-pangkal.Dan untuk kasus PON, justru dapat bisa dibaca terbalik, sesuatu yang kontraproduktif dari upaya menciptakan kohesifitas nasional.

1 komentar: