Kohesivitas
merupakan kekuatan interaksi dari anggota suatu kelompok. Kohesivitas
ditunjukkan dalam bentuk keramahtamahan antar anggota kelompok, mereka biasanya
senang untuk bersama-sama. Masing-masing anggota merasa bebas untuk
mengemukakan pendapat dan sarannya. Anggota kelompok biasanya juga antusias
terhadap apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi
kepentingan kelompoknya. Merasa rela menerima tanggung jawab atas aktivitas
yang dilakukan untuk memenuhi kewajibannya. Semua itu menunjukan adanya
kesatuan, kereratan, dan saling menarik dari anggota kelompok.
2.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kohesivitas/kepaduan.
- Kesamaan nilai dan tujuan.Kohesivitas akan terjadi bila anggota kelompok memiliki sikap, nilai dan tujuan yang sama.
- Keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Keberhasilan
dalam mencapai tujuan yang penting dapat meningkatkan kesatuan kelompok,
kepuasan antar anggota kelompok dan membuat kelompok menjadi lebih menarik bagi
anggotanya.
- Status kelompok.
Kelompok
yang memiliki status atau kedudukan yang lebih tinggi lebih menarik bagi para
anggotanya.
- Penyelesaian perbedaan.
Jika
terjadi perbedaan tentang suatu masalah penting yang terjadi dalam kelompok,
maka diperlukan penyelesaian yang dapat memuaskan semua anggota.
- Kecocokan terhadap norma-norma.
Norma
membantu dan mempermudah dalam meramalkan dan mengendalikan perilaku yang
terjadi dalam kelompok.
- Daya tarik pribadi.
Kohesivitas
atau kepaduan akan meningkat jika terdapat adanya daya tarik dari para anggota
yaitu adanya kepercayaan timbal balik dan saling memberikan dukungan. Daya
tarik ini berfungsi untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan.
- Persaingan antar kelompok.
Persaingan
antar kelompok yang terjadi dapat menyebabkan anggota kelompok lebih erat dan
bersatu dalam melakukan aktivitasnya.
- Pengakuan dan penghargaan.
Jika
suatu kelompok berprestasi dengan baik kemudian mendapat pengakuan dan
penghargaan dari pimpinan, maka dapat meningkatkan kebanggaan dan kesetian dari
anggota kelompok.
- Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kelompok.
Ketika
anggota kelompok tidak menarik antara satu sama lainnya atau kurang kepercayaan
di antara mereka atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dapat
menurunkan adanya tingkat kepaduan.
- Persaingan intern antar anggota kelompok.
Persaingan
intern anggota kelompok menyebabkan adanya konflik, permusuhan dan mendorong
adanya perpecahan di antara anggota kelompok.
- Dominasi.
Jika
satu atau lebih anggota kelompok mendominasi kelompok atau karena sifat
kepribadian tertentu yang cenderung tidak senang berinteraksi dengan anggota
kelompok maka kepaduan atau kohesivitas tidak akan berkembang. Prilaku seperti
itu akan menimbulkan terjadinya klik-klikdalam kelompok yang dapat menurunkan
tingkat kepaduan.
3.
Kohesivitas dalam OLahraga
Oleh: Sugeng Sp Wartawan Media Indonesia
WASIT dikejar-kejar
pemain, suporter ngamuk, para pihak (pemain dan pelatih) saling adu pukul alias berantem
masih saja muncul dengan intensitas cukup tinggi dalam dunia olahraga
kita. Tak terkecuali di arena PON XIV di Jakarta kali ini. Entah karena
apa, jargon-jargon seperti; sportifitas, fair play, semangat
persaudaraan, dan sebagainya, olahraga untuk perdamaian, dan sebagainya, begitu
mudah tenggelam dalam hiruk-pikuk subyektifisme kolektif yang
bersifat spontan yang tak jarang memunculkan kekerasan.
Padahal--sebagaimana
sering disinyalir oleh para ahli--bahwa ikatan-ikatan yang
terbangun dari proses yang spontan dari interaksi kerumunan (crowd)
sebenarnya bersifat rentan. Pelaku-pelaku biasanya akan menunjukkan
rasa penyesalannya begitu kerumunan itu bubar dan si pelaku menjadi
dirinya sendiri.
Pertanyaan kita
adalah musabab apakah yang dapat menghipnotis seseorang (bisa penonton,
pemain, pelatih, bahkan negara) sehingga berperilaku demikian. Dari
berbagai kasus yang terjadi, menjadi benar adanya bahwa
'antara olahraga dan kekerasan hanyalah berjarak selapis kulit
bawang.Sederet alasan bisa diberikan; dari sesuatu yang berdimensi teknis sampai pada hal-hal
yang bertendensi moral; "membela kehormatan," misalnya
Bila
kita lacak ke belakang, memang dapat kita catat bahwa olahraga tidak lagi
'bebas nilai'. Superioritas seorang atlet atau kelompok pemain
(regu/kesebelasan/pasangan) tidak lagi sebatas pada wilayah arena,
tapi ia telah melebar dan beresonansi terhadap titik-titik simpul
yang dapat berupa; sedaerah, sebangsa, sekawasan. Seorang
atlet adalah personifikasi komunitas. Ada semacam pendelegasian untuk
merealisir cita-cita, harapan dan obsesi komunitas.
Ia adalah seorang panglima di ujung harapan. Dari itu subyektifitas
komune-pun ikut larut manakala sang atlet berlaga di arena.
Bila sang atlet menang, maka 'perasaan menang' juga menyiram dada
simpatisan, demikian juga untuk keadaan sebaliknya.
Sang atlet dapat
disanjung bagai panglima yang menang perang. Sebaliknya, dapat
dikutuk bahkan dibunuh ketika ia membunuh harapan komunitasnya karena
kalah bertanding. Bagaimana rakyat Brasil berpesta pora sepanjang hari
dan mengelu-elukan para atletnya ketika kesebelasannya
menjuarai Piala Dunia 1994, dan mereka sejenak lupa bahwa negerinya
sebenarnya tengah mengalami debt trap dalam bangun ekonominya.
`Sebaliknya masih
segar dalam ingatan kita bagaimana Andreas Escobar pemain sepakbola
Kolumbia yang dibunuh di negaranya. Escobar dianggap sebagai
penyebab kekalahan kesebelasan negaranya dengan melakukan gol 'bunuh diri'
ketika melawan Amerika Serikat dalam kejuaraan yang sama. Masih menjadi
pertanyaan besar yang belum terpecahkan memang; mengapa olahraga begitu
dekat dengan kekerasan. Hura-hura merayakan kemenangan tak jarang berujung
kekerasan, terlebih-lebih luapan kekecewaan kekalahan. Padahal
dengan olahraga diharapkan menjadi satu medium untuk membangun
kebahagiaan dan perdamaian, sebagaimana yang dicanangkan oleh
Bapak Olimpiade, Baron Pierre de Coumbertin.
Dari keadaan ini
biasanya analisa lantas tertuju pada kondisi sosial
masyarakat bersangkutan. Meskipun kadang kecele; bagaimana tragedi Stadion Heysel yang menelan banyak korban, adalah bukti bahwa kekerasan olahraga dapat juga terjadi pada masyarakat yang maju, baik dalam peradaban maupun kondisi sosial ekonominya.Dan kini kekerasan dan kebrutalan masih pula menggores arena PON kita meskipun dengan intensitas dan ekskalasi konflik yang terbatas. Layak kita renungkan adalah apa yang menjadi semacam raison de'etre dari itu semua. Arena PON itu sendiri dapat pula kita jadikan salah satu alat penala tingkat kohesifitas nasional kita.
masyarakat bersangkutan. Meskipun kadang kecele; bagaimana tragedi Stadion Heysel yang menelan banyak korban, adalah bukti bahwa kekerasan olahraga dapat juga terjadi pada masyarakat yang maju, baik dalam peradaban maupun kondisi sosial ekonominya.Dan kini kekerasan dan kebrutalan masih pula menggores arena PON kita meskipun dengan intensitas dan ekskalasi konflik yang terbatas. Layak kita renungkan adalah apa yang menjadi semacam raison de'etre dari itu semua. Arena PON itu sendiri dapat pula kita jadikan salah satu alat penala tingkat kohesifitas nasional kita.
Rivalitas
antardaerah dalam satu bingkai kesatuan dan persatuan
tersalurkan lewat 'adu prestasi' para atlet. Ada semacam exercise empat tahunan. Kedawasaan sungguh diuji bagaimana menerima kenyataan menang atau sebaliknya keadaan kalah.Menang dan kalah bukanlah segala-galanya. Menang dan kalah adalah sebuah konsekuensi logis dari keputusan kita untuk 'terlibat'. Menang dan kalah akan menjadi lebih bermakna bila ia justru menciptakan suasana damai, bersahabat, jauh dari kekerasan dan ketakjujuran.
tersalurkan lewat 'adu prestasi' para atlet. Ada semacam exercise empat tahunan. Kedawasaan sungguh diuji bagaimana menerima kenyataan menang atau sebaliknya keadaan kalah.Menang dan kalah bukanlah segala-galanya. Menang dan kalah adalah sebuah konsekuensi logis dari keputusan kita untuk 'terlibat'. Menang dan kalah akan menjadi lebih bermakna bila ia justru menciptakan suasana damai, bersahabat, jauh dari kekerasan dan ketakjujuran.
Dalam keadaan
demikian lantas kita dapat dengan jernih berpikir bagaimana
meningkatkan prestasi dan merealisasi harapan-harapan yang lebih besar, yakni
harapan nasional, harapan bangsa dalam arena dunia. Sebab kalau tidak,
tak tertutup kemungkinan muncul pesimisme-pesimisme baru bahwa arena
olahraga tak lebih dari sekadar ajang penumpahan nafsu manusia
yang terbalut sejumlah kepentingan tak berujung-pangkal.Dan untuk kasus PON,
justru dapat bisa dibaca terbalik, sesuatu yang kontraproduktif dari upaya
menciptakan kohesifitas nasional.
hay
BalasHapus